Monday, June 13, 2011

THE FIGHTERS OF LIFE - The garbage lady and her son

BERJIBAKU DENGAN SAMPAH

Mentari pagi sudah muncul di ufuk Timur. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Setelah meneguk teh manisnya, Bu Boan merapikan pakaian kerjanya. Sepotong rok lusuh panjang,, baju lengan panjang, kerudung yang menutup rambut di kepalanya, sepasang sendal jepit, dan tidak ketinggalan sebuah topi untuk melindungi kepala dari sengatan matahari. Boan anaknya sudah berada di halaman rumah,sedang sibuk membersihkan lumpur kering di roda depan gerobak sampahnya. Sang Ibu kemudian menutup pintu rumah dan menguncinya. Tanpa banyak kata, pasangan Ibu dan anak ini kemudian berjalan beriringan menyusuri jalan kerikil dan sedikit berlumpur hujan semalam menuju perumahan Kranggan Permai, Jati Sampurna, yang letaknya tidak jauh.

Di salah satu blok di perumahan tersebut, yakni RT 011, mereka berhenti di ujung jalan. Dipagar setiap rumah di kiri-kanan jalan tersebut telah tergantung kantong-kantong kresek yang berisikan sampah dapur. Dengan sigap satu persatu kantong-kantong sampah  mereka masukkan ke dalam gerobak yang dibawa. Tidak semua rumah hanya sekedar menggantung atau meletakkan sampahnya di depan rumah, namun ada juga yang memasukkannya di bak sampah. Dengan sigap Boan memeriksa bak sampah, dan apabila ada tumpukan sampah disana, maka dengan bantuan sekopnya ia akan mengeruk sampah tersebut dan melemparnya ke gerobak. Ada sekitar 30 rumah yang setiap pagi mereka bersihkan dari sampah rumahan. Tentu saja beraneka jenis dan bau sampah menjadi "sarapan" setiap pagi.

Pejuang kebersihan: Boan dan Emaknya
Sudah lebih dari 10 tahun pasangan Ibu dan Anak ini bekerja sebagai pengangkut sampah, yakni semenjak tahun 2001. Sebelumnya mereka menggunakan karung plastik untuk membawa sampah-sampah dan menumpuknya di lahan pembuangan lalu kembali lagi untuk mengambil sampah yang lain. Dengan menggunakan karung, paling tidak Bu Boan harus bolak-balik hingga tiga kali sampai seluruh sampah dapat diangkutnya. Barulah tiga tahun ini mereka menggunakan gerobak yang dapat mengangkut sampah lebih banyak dan dapat dibawa sekaligus ke pembuangannya. Dari lahan pembuangan ini setiap pagi sebuah truk pengangkut sampah akan datang untuk membawa seluruh tumpukan sampah ke Bantar Gebang.

Setelah dua jam usai sudah tugas rutin mereka. Masih pukul 10 pagi, jadi masih ada waktu untuk mengerjakan tugas lain, yakni mencari "uang tambahan" dengan cara mencari order keliling komplek. Yah, selain sebagai pengangkut sampah, Bu Boan juga menerima aneka job lain, seperti membersihkan taman, menebang pohon, mengeruk got/saluran air, dan sebagainya. Apabila ada sampah yang harus dibuang dari hasil kerjaan ini maka sampah itu juga akan mereka angkut untuk dibuang. Pemilik rumah atau pemberi job cukup membayar satu harga untuk paket bersih-bersih itu. Bu Boan jarang mematok harga, namun mengingat kerjaan tersebut lebih berat dibanding sekedar membuang sampah, maka biasanya pemilik rumah memberinya minimal Rp 20ribu. Uang tersebut akan dibagi dua dengan Boan anaknya.

Sebagai tukang sampah, penghasilan yang diterima setiap bulan sekitar Rp 400rb, dan karena tugas ini dikerjakannya berdua dengan sang anak, maka uang "gaji" ini dibagi dua. Namun atas permintaannya Bu Boan menerima gaji mingguan, yakni Rp 100rb, alasannya "kalu nunggu sebulan, kelamaan. Padahal perlu buat beli beras...". Sedangkan dari job sampingannya, setiap hari rata-rata dia menerima sekitar Rp 30ribu-Rp 50ribu. Lumayan untuk menambah-nambah penghasilan. Namun tidak setiap hari ada orang yang memerlukan jasanya.

Penghasilan yang diperoleh digunakannya untuk mencukupi kebutuhan hidup dan anak bungsunya yang saat ini belajar di SD terbuka (Paket C) di daerah Pasar Kranggan. Si Sulung dan Boan, anaknya yang kedua, semuanya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah masing-masing. Dari mereka, perempuan paruh baya ini mendapatkan dua orang cucu yang masih belita. Sedangkan sang suami telah lama meninggalkan mereka dan hidup bersama keluarga barunya.

Ibu Boan (yang tidak mau menyebut nama gadisnya) merupakan asli penduduk desa Kranggan. Dari orang tuanya ia memperoleh warisan sebidang kecil tanah yang dibangunnya pondok yang didiaminya sekarang. Seperti perempuan kampung pada masanya, ia tidak mengeyam pendidikan dan dinikahkan pada usia muda. Dari hasil perkawinan dengan mantan suaminya ia memperoleh tiga anak laki-laki. Dan ia memilih untuk tidak menikah lagi sampai sekarang. Ia sendiri tidak tahu berapa usianya sekarang, namun, "ancer-ancer, sekitar 45-an..."

Ia menyadari sebagai perempuan yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki cukup modal untuk usaha, maka tidak banyak pilihan kerja yang dapat dilakoni. Walau harus membiasakan diri bergaul dengan sampah yang kotor dan mengandung banyak penyakit, namun ia mengaku ia senang dengan pekerjaannya sekarang. Bahkan ia bertekad "kalu bisa kerja terus sampai nga bisa jalan lagi..." Ia bersyukur masih diberikan Tuhan rejeki dari perjuangannya ini. Ia berharap semoga cucu-cucunya sebagai generasi penerus akan memperoleh hidup yang lebih baik dan lebih sukses nantinya.


Lumayan dapat uang tambahan

No comments: