Jamu...jamu... Begitulah tiap pagi Mbak Yanti menyerukan dagangannya di Komplek Perum Kranggan Permai. Dengan menggunakan kain panjang, Ia menggendong dipunggungnya sejumlah botol yang berisikan jamuan hasil racikannya. Botol-botol tersebut diletakkan dalam sebuah wadah ayaman bambu. Ada sekitar 10 botol jamu yang dijajakannya, yaitu: Jahe, Kunyit Asam, Kencur, Pahitan (Sambiloto), Sirih, dll. Semuanya masih hangat, karena baru selesai dimasak di dapurnya.
Setiap hari ia berjalan kaki dari rumah kontrakannya nya yang terletak sekitar 4 km dari perumahan tersebut. Sambil menggendong botol jamunya, ia juga membawa sebuah ember hitam kecil yang berisikan air dan beberapa buah gelas di dalamnya. Jadi apabila ada pembeli yang ingin langsung minum di jalan, mereka bisa langsung menikmati jamu dalam gelas tersebut. Dalam ember juga ditaruhnya beberapa butir jeruk nipis sebagai tambahan rasa jamunya.
Jamu Mbak Yanti sudah cukup terkenal di Kranggan Permai. Maklum sudah hampir 11 tahun ia berkeliling menjajakan dagangannya di sana. Sehingga langganannya sudah tersebar hampir di tiap sudut komplek tersebut. Mulai dari Ibu-ibu, Bapak-bapak, bahkan anak-anak sudah mencicipi jamunya yang nikmat tersebut.
Yanti sendiri berasal dari sebuah desa di Wonogiri, Jawa Tengah. Seperti kebanyakan kaum keluarganya yang berbisnis jamu, ia sendiri mulai belajar meracik ketika berumur 13 tahun. Keahliannya tersebut diperoleh secara turun temurun. Nenek dan Ibunya juga merupakan meracik dan penjual jamu. Sehingga tidak mengherankan Yanti juga akhirnya tertarik berbisnis jamu gendong.
Setelah dianggap cukup mampu untuk memulai usaha, Yanti merantau ke Pulau Madura mengikuti salah satu kerabatnya yang sudah berjualan jamu di sana. Menurut Yanti, walau orang madura memiliki racikan jamu sendiri, namun anehnya, "Mereka lebih suka minum jamu jawa...". Setelah berjualan selama empat tahun, akhirnya ia memutuskan untuk ikut suaminya merantau ke Jawa Barat, tepatnya ke Jati Sampurna, Bekasi.
Setiap hari ia meracik berbagai macam rempah-rempah untuk membuat jamunya. Semua bahan tersebut, seperti kunyit, jahe diparutnya sendiri, dan sarinya dimasak dengan air hingga mendidih. Barulah setelah matang, ramuan tersebut dimasukkannya ke dalam botol-botol gelas. Selain jamu buatannya sendiri, Yanti juga menyiapkan beberapa kantong jamu dalam paket. Ini disesuaikan dengan permintaan pelanggannya. Ia melakukan ritual ini dua kali sehari, artinya setelah dagangan pagi habis, ia kembali pulang untuk membuat racikan baru, dan kembali ke jalan untuk berjualan.
Setelah seluruh dagangannya tertata rapih, Yanti bersiap-siap untuk melakukan perjalanan panjang. Seperti uniknya para penjual jamu gendong, ia menggunakan "seragam" kain panjang dan baju lengan panjang. Rambutnya dikuncir dengan karet gelang. Setelah sandal jepit sudah dikakinya, Ibu satu putri ini pun keluar dari rumah kontrakan yang ditempatinya dengan suaminya, dan kembali menyusuri jalan panjang menuju komplek Kranggan.
Umurnya bisa dibilang tidak muda lagi, sekitar 44 tahun. Namun berkat ritualnya tiap hari minum jamu dan "berolah raga sepanjang jalan kenangan", ia kelihatan awet muda. Postur badannya juga terjaga baik, dan tetap langsing.
No comments:
Post a Comment